Where it happened: home
Langauge: indonesian
Sex: Male
Rating: 10
Category: Straight
KULUP
Namaku Andi, umurku dua puluh enam tahun. Ketika usiaku delapan tahun, ayahku ingin menyunatkanku, tapi aku tidak mau karena aku takut. Aku benar-benar ketakutan. Kala itu dua orang temanku yang bersebelahan rumah denganku disunat, dan aku mendengar kedua temanku itu menangis dan berteriak-teriak dua hari lamanya. Bahkan di hari ketiga pun, salah seorang dari mereka masih sesekali terdengar menangis. Karena melihat pengalaman mereka itulah, aku menolak bujukan ayahku, “Tahun depan saja, Yah. Nanti kan, aku sudah besar, sudah lebih berani. Boleh ya, Yah?”
Yang aku takutkan adalah gunting bedah untuk menyunat, yang walaupun aku belum pernah melihatnya, tapi teman-temanku sering menceritakannya. Itu membuatku ngeri. Tapi, syukur, ayahku menuruti permintaanku.
Tahun berikutnya, sewaktu liburan kenaikan kelas, ayah menagih janjiku tahun lalu untuk mau disunat. Seketika terbayang wajah kedua temanku yang meringis-ringis kesakitan di rumah mereka, dan terngiang pula rintihan, dan bahkan teriakan mereka menjerit-jerit; perih, sakit… Aku bergidik. Jangan, Ayah, kataku dalam hati, serasa mau menangis.
Aku tak tahu mesti bilang apa. Dalam hati aku merasa malu, karena di antara teman-teman sepermainanku, akulah satu-satunya anak laki-laki yang belum disunat. Bersama-sama, kami sering berenang di kolam renang yang tak jauh letaknya dari rumahku. Jika kami selesai berenang, kami berbilas bersama-sama di bawah keran-keran pancuran air yang tersedia di ruang bilas. Kami semua berdiri di bawah semburan air dingin yang sejuk dengan bertelanjang bulat. Kami sengaja melepaskan celana renang. Dan saat itulah, kami berenam bugil bermain air; lima di antaranya sudah bersunat.
Ingin sekali rasanya aku cepat-cepat menyelesaikan berbilas mandi dan segera melilit badan dengan handuk, tapi mana bisa, karena biasanya sambil mandi di bawah keran bilas, kami bercanda. Untungnya, teman-temanku baik, mereka tidak pernah mengejekku karena aku belum disunat. Tapi aku sendirilah yang malu, masih berkulup.
Sungguh konyol. Merasa malu, tapi tidak mau disunat, karena takut gunting, takut jarum jahit, takut sakit, takut nyeri… perih… Benar-benar konyol!
Entah kenapa juga, sepertinya ayah memahami ketakutanku. Ia tidak memaksaku untuk disunat. Tahun berikutnya, ketika aku berusia sembilan tahun, kembali ayah menanyaiku.
“Andi, kamu kan sudah besar. Sebentar lagi kamu naik kelas lima, enam, lalu masuk ke SMP. Masa, masih belum mau disunat juga? Kan malu sama teman-teman…”
Aku tak berani menjawab; aku kuatir, aku akan mengangguk dan mengiyakan jika aku mengeluarkan kata-kata, menyahut ucapan ayahku. Jadi, aku diam saja.
Tahun itu pun berlalu. Dan aku masih berkulup.
Aku ingat sekali, dari tahun ke tahun, ayah selalu bertanya kepadaku. Berkali-kali sudah ayah membujukku untuk mau disunat. Tapi aku tetap menolak, dengan alasan takut kesakitan. Padahal, ketika usiaku hampir sebelas tahun, aku terjatuh dari pohon jambu di halaman depan rumahku. Dahan yang aku injak licin dan aku terpeleset; tinggi dahan itu hampir setinggi genting teras rumah. Telapak tangan kiri dan siku tangan kiriku robek dan harus dijahit. Ditambah lagi, siku kiriku itu meleset persendiannya. Luar biasa sakitnya. Tapi aku bisa menahan rasa sakit itu; aku tidak banyak mengeluh kesakitan, apalagi berteriak-teriak atau mengaduh-aduh.
Ayah mengatakan bahwa rasa sakit karena cedera di lengan dan telapak tangan itu jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit karena disunat. Tapi aku tetap saja menolak permintaan ayah. “Jangan sekarang, Yah. Nanti kalau sudah SMP saja. Tahun depan kan, aku sudah lebih berani. Boleh ya, Ayah, ya?” pintaku setengah merengek ketika aku berumur sebelas tahun. Dan begitulah, aku menghindar terus tiap kali ayah memintaku untuk mau disunat.
Sampai usiaku menginjak angka empat belas, dengan segala kepintaranku bermain kata-kata, aku menolak desakan ayah, hanya kali ini dengan alasan lain yang kubuat-buat.
Tapi sesungguhnya dalam hati aku berkata, “Aku tidak takut lagi pada pisau atau gunting bedah, Yah. Tapi, sekarang aku malu. Malu, Yah. Ayah tidak tahu saja, karena ayah tidak pernah lagi melihat aku telanjang bulat. Kemaluanku sudah ditumbuhi bulu-bulu halus, bulu-bulu hitam keriting yang mulai memanjang dan bertumbuh meluas menjauh dari pangkal kemaluanku, naik ke arah pusar. Aku malu kalau sampai orang lain melihat kemaluanku yang sudah ditumbuhi bulu-bulu itu, apalagi kalau harus dipegang-pegang dokter atau juru sunat. Ah, jangan, Yah. Malu.”
Di saat aku mulai masuk usia remaja, masa puberku, rambut-rambut kemaluanku sudah cukup lebat. Aku bisa mengatakan cukup lebat karena sering aku membandingkan dengan bulu-bulu kemaluan temanku kalau aku sedang buang air kecil di sekolah. Bulu-bulu mereka belum banyak, masih tipis dan jarang-jarang. Bahkan, ada seorang teman seusiaku, empat belas tahun kala itu, yang aku lihat dengan jelas, kemaluannya masih mulus, licin tanpa selembar bulu pun. Tapi mereka semua sudah disunat. Aku memang selalu menutupi kemaluanku kalau aku buang air kecil berdampingan dengan temanku di toilet sekolah. Jadi, mereka tidak tahu kalau aku masih berkulup. Tak ada satu pun teman masa SD-ku dulu yang bersekolah di SMP yang sama denganku. Jadi, aku merasa aman, karena tak akan ada orang lain yang akan bercerita kepada teman-temanku yang lain bahwa aku belum disunat. Aku tidak merasa kuatir akan diejek.
Dan kembali kepada ayah; setelah ayah sadar bahwa anak sulungnya ini sudah mulai memasuki masa puber, yang ditandai dengan suaraku yang mulai berubah, terdengar sedikit berat, dan mulai ada kumis tipis di atas bibirku; ditambah lagi, lengan serta kakiku sudah ditumbuhi bulu-bulu halus yang cukup lebat, ayah berhenti membicarakan soal sunat ini.
Dan sampai di usiaku sekarang ini, dua puluh enam tahun, aku tidak disunat. Dua orang adikku yang juga laki-laki, keduanya sudah disunat ketika masing-masing menginjak usia sembilan tahun.
Sekarang, mengapa aku menceritakan tentang hal ini, tentang kondisiku yang tidak bersunat ini? Apanya yang aneh, toh banyak juga orang-orang yang tidak disunat?…
Ada satu hal istimewa yang aku miliki dari kulupku ini. Yang jelas, aku sangat menyayanginya. Tiap hari aku merawat kemaluanku.
Walaupun aku berkulup, tapi penisku sangat bersih. Tiap kali mandi, selalu aku buka kulup itu, kutarik ke arah pangkal batang kemaluanku, sehingga kepala kemaluanku menyembul keluar seluruhnya. Dan dua kali sehari selalu aku bersihkan dengan sabun, mulai dari kepala kemaluan, batang kemaluan, sampai ke pangkalnya dan berakhir di rambut-rambut hitam keriting yang menutup sebagian besar kulit di atas kemaluanku.
Setiap kali aku buang air kecil, kutarik kulupku ke belakang hingga seluruh kepala penisku keluar. Dengan begitu, tak ada setetes pun sisa air kencing menempel di kepala penisku selesai aku buang air. Dan setelah itu, pasti aku basahi lubang kemaluanku dengan sedikit air, lalu aku keringkan dengan kertas tisu atau celana dalamku sendiri seandainya tidak ada kertas tisu. Kotoran yang berupa gumpalan-gumpalan kecil seperti parutan keju yang berwarna putih yang disebut smegma, dan berbau anyir, tidak pernah ada di balik kulupku. Sekeliling kepala penisku bersih.
Aku tidak ingat kapan persisnya, tapi kira-kira setelah aku mulai memasuki masa puber, aku sering membelai-belai kemaluanku di saat aku sendirian di kamarku. Entah sore hari, atau malam hari ketika aku belajar sendirian di kamar, tangan-tanganku tak pernah tinggal diam. Tangan-tangan itu selalu merogoh masuk ke dalam celana pendek, dan terus menyelusup ke balik celana dalam. Ada rangsangan kuat di dalam diriku yang menggerakkan tangan-tangan itu untuk bergerak ke arah selangkanganku. Karenanya, aku lebih suka memakai kain sarung, dan tidak memakai celana dalam bila sedang sendirian di kamar.
Biasanya, begitu selesai makan malam, aku akan masuk ke kamar, mengunci pintu, lalu memelorotkan celanaku sendiri, baik celana pendek maupun celana dalam, kemudian menyelubungkan kain sarung ke pinggangku. Tapi kerap kali juga, setelah aku melepaskan celana dalam, aku tidak segera memakai kain sarungku. Dan jadilah aku bertelanjang di bagian bawah, hanya mengenakan baju atau kaus saja. Kalau sudah begini, biasanya, bisa berjam-jam aku bermain-main dengan kemaluanku.
Aku senang membelai-belai kantung pelirku. Ada sensasi enak yang bercampur dengan perasaan geli yang sulit dikatakan. Kuusap biji-biji pelir yang cukup besar menggelantung di selangkanganku, kutelusuri seluruh permukaan kantung yang berkerut-kerut itu.
Kantung pelir itu akan bergerak perlahan naik turun. Aku jadi menyadari bahwa kantung pelir dan isinya yang berupa dua buah pelir itu, ternyata hidup. Dia bergerak perlahan naik-turun. Inilah satu-satunya bagian tubuh manusia (laki-laki) yang bisa bergerak sendiri, mengkerut dan mengendur sendiri berulang-ulang, seiring dengan elusan tangan yang merangsangnya. Bagian tubuh yang lain tidak akan bergerak dan bereaksi sedemikian bila tersentuh.
Yang lebih dahsyat lagi, batang kemaluanku akan langsung berdiri tegak begitu terkena sentuhan pertama tanganku sendiri yang tidak terlalu kasar.
Di masa puberku, aku tak pernah tahu yang namanya gambar-gambar porno, cerita-cerita mesum, apalagi film porno. Aku kerap mendengar celetukan mesum dari mulut teman-temanku di sekolah, tapi secara pasti, aku tidak mengerti apa maksudnya. Antara lain mereka mengatakan ‘make love’, ‘bersetubuh’, ‘masturbasi’, ‘homo’, ‘lesbian’, ‘swalayan’, ‘ngocok’, ‘merancap’, ‘ngentot’, dan istilah-istilah lain yang seharusnya adalah konsumsi orang dewasa.
Secara pengetahuan tentang istilah-istilah seks, aku memang tidak terlalu banyak mengerti. Tapi di rumah?… Teori tidak terlalu penting buatku.
Tiap malam, tiap selesai makan malam, sendirian di dalam kamar yang terkunci, aku menikmati diriku sendiri. Duduk mengangkang tanpa celana di atas tempat tidur sambil menonton TV pribadiku dengan layar mininya, tanganku menggerayangi selangkanganku sendiri; merangsang benda hidup yang menggelantung dan mencuat di pangkal pahaku.
Di saat seperti itu, pikiranku akan melayang ke mana-mana, membayangkan ada seseorang yang mengelus-elus kemaluanku, membayangkan teman-teman perempuanku telanjang bulat berjalan-jalan di depanku, membayangkan aku berenang bersama mereka dan tak seorang pun memakai baju renang, membayangkan ibu guruku yang paling galak dan sedikit montok mengajar di depan kelas bugil tanpa selembar benang pun di tubuhnya diiringi pandangan nanar teman-teman cowokku yang mulutnya melongo melihat pemandangan itu…, atau membayangkan anak gadis tetangga seberang rumah yang baru masuk SMA, mondar-mandir di teras rumahnya dengan bugil… Pokoknya, segala macam khayalan yang bisa kubayangkan…
Dengan sentuhan jari-jariku yang tidak terlalu kasar, batang kemaluanku pasti segera berdiri tegak, hanya dalam hitungan beberapa detik saja. Sejak ayah tidak pernah memintaku untuk disunat, aku mulai sering mengukur panjang batang kemaluanku sendiri, baik dalam keadaan lemas maupun ketika sedang ereksi. Dalam kondisi lemas, tujuh sentimeter, dengan kulup ditarik ke belakang. Aku yakin, ini ukuran kecil. Tapi ketika ereksi…, delapan belas sentimeter! Itu ukuran ketika aku berusia sembilan belas tahun.
Bagian dari kemaluan yang paling aku sukai untuk dielus-elus adalah kepala kemaluan. Jari-jariku akan menarik kulupku ke belakang sampai seluruh kepala kemaluanku menyembul keluar, lalu menggeser kulup itu ke depan lagi untuk menutup kepala kemaluan hingga tertutup rapat, lalu ke belakang lagi, lalu ke depan lagi, dan begitu seterusnya, buka-tutup, buka-tutup, sampai akhirnya air maniku menyembur keluar dengan semprotan yang kuat jika aku sudah mencapai klimaks syahwatku dengan rasa syur yang nikmatnya luar biasa. Jika nafsuku sedang kuat-kuatnya, semburan air mani itu bisa mencapai hampir satu meter jauhnya, dengan letupan yang sangat mengejut… Creet… creeett… creett… Ahh, enak sekali…
Sekarang kulup. Apa sebenarnya guna kulup? Secara awam, mungkin orang akan menjawab, sebagai pelindung kepala kemaluan. Mungkin benar, tapi kenapa orang justru membuangnya? Apa supaya terlihat garang, tanpa kulup?… Ah, sudahlah, tak usah dibahas soal itu.
Yang penting, sejak aku suka mengukur panjang kemaluanku sendiri, aku juga rajin mengukur panjang kulupku. Ini kulakukan karena setiap malam, sambil menonton televisi atau membaca buku, dan tanpa celana, aku selalu menarik-narik kulupku. Semula kulit kulupku hanya sepanjang kepala penis atau kepala kemaluanku saja. Saat lemas, kepala kemaluanku tertutup rapat oleh kulup. Tapi di saat ereksi, karena tegangan yang begitu kuat, karena batang kemaluan berdiri tegak dan mengeras, kulupku pasti akan sedikit tertarik ke belakang, sehingga lubang kencing di ujung kepala kemaluanku pasti akan terlihat.
Di usia puber, sangat sering aku mengalami ereksi; bukan hanya di rumah di waktu malam, tapi yang memalukan, sering kali justru di dalam kelas, ketika aku sedang mengikuti pelajaran. Jika sedang ereksi, ujung kemaluan pasti sedikit keluar dari kulup. Itu sangat tidak enak jika tergesek-gesek celana dalam. Ada rasa perih, tapi juga rasa enak.
Karena kondisi inilah, aku jadi sering berpikir-pikir, bagaimana caranya supaya rasa perih-perih karena tergesek celana itu bisa diatasi, tanpa harus disunat. Pernah kucoba berbagai macam cara, dengan memakai pelindung, seperti membungkus ujung kulup dengan perban. Tapi ketika aku terangsang karena memandangi teman-teman perempuanku yang montok dadanya di dalam kelas, batang kemaluanku menegang, lalu perban itu menjerat leher kemaluanku, dan aku akan jadi blingsatan karena ikatan perban itu menjadi terlalu ketat, menjepit kemaluanku yang membesar. Jadi, tercekiklah ujung penisku. Dan rasanya…? Sangat mengganjal dan perih tidak karuan.
Saat itu, pengin sekali aku buru-buru ke kamar kecil untuk melepaskan ikatan perban itu. Tapi, mana mungkin?… Berdiri saja aku tidak berani, apalagi maju ke depan kelas untuk minta izin ke ibu guru supaya bisa ke toilet. Mustahil! Mau ditaruh di mana mukaku, kalau teman-teman atau apalagi, ibu guruku yang masih muda, walaupun sudah kawin itu melihat bagian depan celana seragamku menggembung besar…??
Yahh… tersiksalah aku beberapa jam. Untungnya, seingatku aku belum pernah disuruh maju ke depan mengerjakan soal di saat sedang ereksi seperti itu.…
Sejak itu aku tidak pernah mencoba alat-alat lain untuk mencegah rasa perih di ujung kemaluanku karena tergesek celana ketika ereksi. Tapi aku terus berpikir, mencari cara?
Suatu malam, ketika aku sedang menggosok-gosok batang kemaluanku sendiri di dalam kamar, aku menyadari bahwa kulit kulup ini elastis sekali. Kucoba menjepit kulupku dengan telunjuk dan ibu jari kedua tanganku, lalu menariknya ke depan dan terus menahannya. Kulit kulup itu terentang, memanjang dan melebar. Saat itulah, terpikir, kenapa tidak aku tarik saja terus-terusan kulup ini, siapa tahu bisa menjadi sedikit lebar dan menutup ujung penisku di kala ereksi.
Dan sejak itu pula, mulailah, setiap malam, aku menarik-narik ujung kulupku. Dengan jepitan jari yang kuat, aku tarik perlahan kulup itu menjauh dari ujung kemaluanku…
Hari-hari pertama, sama sekali tidak ada perbedaan. Kulupku masih sama persis dengan keadaan sebelumnya. Di hari-hari pertama itu, aku menarik kulupku sekitar sepuluh menit, dengan tarikan pelan, tapi kuat. Beberapa minggu berlalu, tidak tampak ada perubahan. Aku kesal. Tapi karena sudah terbiasa ditarik-tarik, maka tiap kali aku menariknya, kulupku itu sudah tidak terlalu terasa sakit seperti ketika pertama kali aku mulai menarik-nariknya dulu. Maka, seringlah aku menarik kulup itu kuat-kuat.
Dengan jepitan ibu jari dan telunjuk tangan kanan-kiri di ujung kulup, kuhentakkan kulit berwarna coklat gelap itu berkali-kali, kutarik berulang-ulang. Setelah kira-kira sepuluh menit, rasa perih menghunjam di seluruh ujung kemaluanku, di sekeliling leher kemaluan, dan yang paling menyakitkan adalah di kulit kulup itu sendiri. Perbuatan ini aku lakukan paling tidak satu jam setiap malamnya. Kadang, kalau aku belum mengantuk, bahkan bisa lebih dari dua jam aku menarik-narik kulupku sendiri.
Tidak jarang, kulupku lecet dan berdarah karena terlalu kuat ditarik, dan mungkin juga karena aku terlalu kuat menjepitnya dengan jari. Jika sampai lecet, aku pasti meneteskan betadine ke bagian yang terluka kecil itu. Dan begitu bagian yang terluka terkena tetesan atau olesan betadine, aduh… Mak. Perihnya tak tertanggung. Perih dan panas. Sungguh! Saranku…, jaga, jangan sampai kulit kemaluan sendiri terluka, entah karena digaruk atau digigit pasangan, atau karena terkena pisau cukur, atau karena alasan lain. Karena, begitu luka itu diobati dengan betadine… jangan tanya lagi… Periiih sekali…..
Tapi ada surprise buatku, yang sungguh-sungguh membuatku heran, karena setelah sekitar satu tahun berlalu, tiap kali ereksi, ujung kemaluanku sudah tidak terasa perih lagi bila tersenggol celana dalam. Ujung penisku sudah tertutup oleh kulit kulup yang ternyata sudah bertambah panjangnya. Melihat perubahan itu, melihat kenyataan bahwa kulit kulupku bisa memanjang dengan cara setiap malam ditarik-tarik seperti itu, aku sangat senang. Ada perasaan bangga karena aku bisa mengubah salah satu bagian tubuhku sendiri dengan caraku sendiri, dengan pengorbananku sendiri karena menahan sakit, dan semua itu bisa kulakukan tanpa bantuan dokter atau dukun atau apa pun namanya. Dan yang istimewa, itu adalah ideku sendiri!
Setelah menyadari bahwa ternyata kulit penutup ujung kemaluan bisa diperpanjang, aku jadi semakin rajin menariknya. Bahkan, tiap kali aku buang air kecil di mana pun, pasti aku sempatkan barang semenit dua menit untuk sekadar menarik-narik kulup itu. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Karena ditarik terus setiap hari sejak usia puber sampai usiaku sekarang, dua puluh enam tahun, panjang kulupku sudah melebihi panjang batang kemaluanku sendiri, di saat kemaluanku tidak ereksi.
Kalau aku berdiri di kamar mandi telanjang bulat dan memandang ke cermin yang tergantung di dinding, aku sering merasa geli. Batang kemaluanku yang lemas, dengan warnanya yang gelap itu, bergelantungan di selangkangan dengan mempunyai belalai tambahan. Aku katakan belalai, karena benar-benar persis belalai gajah, berkerut-kerut dan bentuknya bergelambir, dengan warna yang lebih gelap daripada warna batang kemaluanku yang memang sudah gelap. Dan yang sangat istimewa, jelas sekali kelihatan, bahwa belalai itu lebih panjang daripada batangnya sendiri. Ini yang sangat kubanggakan.….
Ingat, panjang batang kemaluanku di saat lemas adalah tujuh sentimeter. Jadi, jika ditambah dengan belalainya…, di selangkanganku ini ada benda yang menjuntai sepanjang kira-kira lima belas sentimeter! Batang penis yang tidak ereksi, ditambah kulit kulup…
Kalau sudah begini, sambil menatap ke dalam cermin, aku jadi merasa semakin sayang kepada kulupku, batang kemaluanku, dan bulu-bulu kemaluan yang memenuhi bagian atas pangkal kemaluanku; bulu-bulu kemaluan ini nyaris mencapai bawah pusarku; sangat lebat.
Tidak sia-sia tiap hari aku memainkan kulupku. Tapi bagaimana dengan batang kemaluanku sendiri?
Ini pun tidak sia-sia. Seperti kukatakan tadi, ketika usiaku sembilan belas tahun, delapan belas sentimeter adalah panjang yang bisa dicapai batang kemaluanku ketika ereksi sepenuhnya. Dan di usiaku sekarang, telah terjadi penambahan panjang batang ketika ereksi. Sekarang, panjangnya dua puluh sentimeter kalau sedang ereksi. Aku sendiri sering merasa ngeri jika melihatnya dalam keadaan tegang seperti itu. Tapi aku sangat bangga…
Jika aku mencoba menggenggam batang kemaluanku yang mengeras dengan kedua telapak tanganku, sedikit dari ujung kepala kemaluanku pasti nongol keluar dari telapak tangan, sedikit tidak tertampung oleh kedua telapak tanganku sendiri.
Jadi, dengan menarik-narik kulit kulup selama bertahun-tahun ternyata batang kemaluan pun ikut bertambah panjang. Satu hal lagi, karena kulup itu tidak hanya aku tarik memanjang ke depan, tapi juga melebar ke sekeliling batang kemaluan, maka kulup itu bukan saja kelihatan panjang, tapi juga tampak lebar, lebih lebar dari diameter batang kemaluanku.
Secara keseluruhan, kulup itu kelihatan bagus, tidak lalu terlihat jelek karena seperti belalai. Sungguh, aku benar-benar bangga karena kulup yang panjang dan lebar ini. Nampak seperti kain sarung yang sedang dikenakan. Satu-satunya yang sangat membanggakanku adalah panjang kulup yang lebih panjang daripada batangnya ketika lemas.
Sekarang kalau aku terangsang dan kemaluanku mengeras, tegak berdiri, aku tidak kuatir lagi akan merasakan perih di ujung penisku karena tergesek celana dalam. Kepala kemaluanku sudah aman tertutup rapat oleh kulup yang panjang itu.
Ketika meregang sepanjang dua puluh sentimeter, kulit kulup ini masih mampu menutup seluruh kepala kemaluanku, bahkan ada sisa kelebihan kulit yang menggelantung sepanjang lebih dari empat sentimeter…
Jadi, di saat ereksi, batang kemaluanku dua puluh sentimeter, ditambah sekitar empat sentimeter kelebihan kulit kulup di ujungnya. Kalau kulit yang empat sentimeter itu kutarik, maka dari pangkal batang kemaluanku sampai ke ujung kulupku, panjangnya nyaris dua puluh tujuh sentimeter. Kulit yang empat sentimeter di ujung tadi, bisa melar sampai hampir tujuh sentimeter… dalam kondisi batang kemaluanku ereksi keras.
Dan sampai sekarang pun, tiap malam aku masih rajin menarik kulup ini. Tak tahu aku, sampai kapan aku baru akan berhenti melakukan kebiasaan ini. Yang pasti, aku ingin terus memperpanjang kulupku. Siapa tahu, suatu hari nanti ada kontes kulup terpanjang, atau kontes kulup cantik, atau kontes kulup dengan warna paling gelap… Pasti aku akan jadi pendaftar yang pertama!
*******
Sekarang aku sudah mempunyai pacar, namanya Wati. Dia tiga tahun lebih muda dariku. Perawakannya tinggi ramping, tapi berisi, sehingga tidak terkesan kurus. Kulitnya coklat terang…, ini yang paling kusukai. Wajahnya,… jangan tanya. Dia cewek idola di kampusnya. Dua orang teman kuliahnya pernah bersaing dengan salah seorang dosen mereka untuk mendapatkan Wati. Tapi, dasar nasib mereka kurang mujur, ketiganya ditolak. Dan Wati jatuh ke pelukanku sekarang.
Sering aku mengajaknya datang ke rumahku untuk ngobrol-ngobrol. Sekarang Ayah sering bertugas keluar kota, bahkan tidak jarang harus keluar negeri. Dan ibu pasti diajak mendampinginya. Jadi, aku lebih sering sendirian berada di rumah. Saat-saat seperti itulah sering kumanfaatkan untuk mengajak Wati datang ke rumah. Tentu saja, aku menjemput ke rumahnya lebih dulu.
“Mas, bagaimana kalau tiba-tiba Ayah dan Ibu Mas pulang ke rumah di saat saya ada di rumah Mas ini?” tanyanya suatu malam ketika hujan turun cukup deras dan cukup lama.
“Tadi kan sudah kubilang, mereka baru akan kembali minggu depan. Kamu tidak usah kuatir. Toh, mereka pasti akan menerima kamu menginap di sini seandainya mereka pulang malam ini. Kan, hujan lagi lebat-lebatnya, tuh. Masa anak orang akan disuruh pulang. Tenang sajalah, sayang,” ucapku sambil membelai rambutnya yang panjang dan tergerai di dadaku.
Saat itu Wati meletakkan kepalanya di atas dadaku, sementara aku duduk dalam posisi setengah tiduran di atas tempat tidurku. Tape di samping tempat tidur memutar lagu klasik lembut yang alunannya sangat menenangkan jiwa sekaligus menimbulkan suasana menggoda yang memacu pikiran kami ke arah yang menggairahkan.
Dan entah kapan mulainya, bibir kami sudah saling melumat. Kecupan-kecupan lembut yang semula kujatuhkan di kedua belah pipinya kini sudah berganti dengan hisapan-hisapan yang menggairahkan pada bibirnya.
Bibir gadisku ini tipis dan sangat merah. Tanpa lipstik pun, secara alami bibirnya sudah merah seperti dioles lipstik. Bibirku kudaratkan di bibirnya yang menantang itu. Kugeser-geserkan sebentar di atas kedua bibirnya yang sedikit terbuka, yang memperlihatkan sebagian barisan gigi putihnya yang rata.
“Uhh,” Wati sedikit bersuara ketika lidahku menelusup ke sela-sela bibirnya… Dan bertarunglah lidah kami di dalam mulut Wati. Kujilat seluruh lidahnya, kuhisap lidah yang terasa panjang dan lembut tapi cukup kuat itu. “Hhh…” Wati mengeluarkan suara lagi. Desahannya menambah gairahku.
Posisi Wati yang telentang di atas dadaku sangat membuka peluang bagi tangan kananku untuk menyentuh dadanya. Ujung telunjukku, kugeser dari lehernya, perlahan turun ke bagian belahan dadanya, lalu naik lagi ke leher dan berhenti di dagunya. Turun lagi, dan kali ini membelok ke dada kirinya.
Wati tersengal. Tapi lidahnya terus bersilat dengan lidahku. Dan ketika telunjuk kananku menyentuh puncak buah dada kirinya, Wati menghisap lidahku, sehingga lidahku masuk lebih dalam lagi ke dalam rongga mulutnya. Dan aku jadi makin berani.
Telunjukku bergerak membuat lingkaran mengelilingi buah dadanya. Saat itulah aku baru mengetahui bahwa Wati tidak memakai BH. “Ah, Wati, kau memang gadisku. Kau selalu berani tampil beda dari yang lain; tidak pernah sama dengan teman-temanmu,” kataku dalam hati.
Jariku makin cepat melingkar-lingkar di atas buah dada yang terasa kenyal, masih sangat kencang, dan dengan cepat terasa mengeras putingnya itu. Tak sabar lagi aku ingin melihat lebih jauh. Segera kususupkan tangan kananku ke bawah kaus yang dikenakan Wati, dan menyentuh permukaan buah dada yang kelihatan cukup besar untuk ukuran wanita seperti Wati.
Wati menggerakkan badannya, seolah kegelian, tapi ternyata ia menikmati tanganku yang secara langsung sudah menyentuh permukaan buah dadanya itu. Dan tanganku pun mulai meremas buah dada Wati. Remasan-remasan perlahan berlanjut dengan remasan yang makin kuat, dengan sedikit tekanan. Kumain-mainkan puting susunya yang mengeras. Kupijit-pijit mesra, disertai dengan remasan telapak tangan di permukaan buah dadanya.
Wati terpejam, matanya tertutup rapat. Ia memicing-micingkan matanya tiap kali puting susunya kupilin-pilin dengan ibu jari dan jari tengahku, diiringi rintihan dan desahan pelan dari mulutnya.
Aku tak lama melakukan ini, karena segera kukeluarkan tangan kananku dari dalam kausnya, dan kulanjutkan dengan menarik kaus itu dengan kedua tanganku, ke atas. Ciuman kami terlepas sesaat.
“Hhh, Mas…” Wati mengeluh sambil mengangkat kedua tangannya ke atas ketika kausnya kuangkat melewati kepalanya dan kulepaskan. Aku pun juga melepaskan kaus yang kukenakan. Kaus-kaus aku lemparkan begitu saja ke karpet di bawah, dan segera kuraih lagi gadisku ke dalam dekapanku.
Kini, aku bisa melihat dengan jelas, buah dada Wati, gadis yang selama ini kukagumi dan sangat kucintai, bukan sekadar karena kecantikannya, tapi terutama karena kebaikan dan perhatiannya kepadaku. Dada Wati yang putih mulus, dengan dua gundukan bukit yang menantang, dan yang pasti, merangsang setiap laki-laki normal yang melihatnya, tampak naik-turun, seiring napasnya yang memburu. Wati tetap terpejam, seolah menantikan apa yang akan kulakukan selanjutnya.
Segera kubaringkan gadisku ini. Dan bibirku berlanjut lagi melumat bibirnya. Lidahku bergerak cepat, masuk ke dalam mulutnya kembali. Kuhisap kuat-kuat lidahnya dengan lidahku; dan lidah itu bergerak keluar masuk di dalam rongga mulut Wati. Sesekali Wati memicingkan matanya rapat-rapat ketika lidahnya kusedot kuat-kuat. Aku sendiri tak ingin menutup mataku. Aku sangat ingin melihat apa saja reaksi tubuh Wati atas setiap gerakanku. Aku menikmati semuanya dengan mataku juga.
Tak begitu lama. Kulepaskan hisapanku di mulut Wati, dan lidahku bergerak menjulur, menjilati dagunya, lehernya, bagian bawah lehernya, lalu turun ke tengah-tengah dadanya, di mana terdapat ceruk belahan dada yang dalam, dengan bukit-bukit yang tinggi menjulang di kanan-kirinya, buah dada yang kecoklatan dengan putingnya yang coklat tua, mengeras dan aduhai… Semua ini membuatku sangat terangsang…
Puting susu yang tadi kupijit dan kupilin-pilin itu, sekarang kuhisap dengan mulutku. “Ahhh… Masss…” Wati mengeluh. Suaranya membuatku semakin terangsang. Kujilat putingnya, kuhisap sekeliling puting itu, dan puting susu Wati habis kukulum. Sementara itu, tangan kiriku meremas sekeliling buah dada Wati yang sedang kuhisap. Sedangkan tangan kananku meremas-remas buah dada kirinya. Sesekali jari-jariku memilin-milin puting susunya yang terasa sangat keras. Aku yakin, Wati sangat terangsang, karena bisa kulihat raut muka Wati menunjukkan ekspresi sangat keenakan. Wati sangat menikmati remasanku…
“Mas… Masss… Hhhh…. Ohh..,” berulang kali desahan seperti ini keluar dari mulutnya.
Kedua tangan Wati yang sedari tadi memelukku, sekarang sudah bergerak berkeliaran di seluruh punggung dan dadaku. Setiap inci dari bagian atas tubuhku dijelajahinya dengan elusan-elusan lembut. Tiap kali, tangannya bergerak melewati pinggangku, aku pasti mengeluarkan suara, “Ehhhmmmm…” sambil sedikit menggelinjang. Bukan perasaan geli yang muncul, tapi rasa enak, rasa disayang, rasa yang aku yakin bisa membangunkan ‘semua yang tertidur’.
Wati tahu itu. Tangannya berulang-ulang naik-turun di pinggangku, membuatku semakin hebat mengulum puting susunya. Desahan Wati setiap kali puting susunya kupilin, nyaris selalu berbarengan dengan suara keluhanku karena keenakan dielus tangan-tangan yang lembut itu.
Wati memang lain dari yang lain. Aku tidak salah pilih. Dia pemberani. Aku diberinya satu surprise. Ketika aku masih sibuk dengan sedotan dan pijitan di buah dadanya, mendadak tangannya yang naik-turun di samping tubuhku, tidak kembali naik lagi. Tangan itu bergerak turun ke bawah pinggangku, dan terus turun lagi ke bagian depan tubuhku, lalu berhenti di bawah pusarku. Tepat di atas kancing celana panjang yang kukenakan, tangan Wati berhenti, dan ia membuka kancingnya, menarik retsliting celanaku ke bawah, menguakkan bagian depan celana yang sudah terbuka itu, lalu mengusap-usap apa yang ada di balik celana itu.
Ah, Watiku. Aku tak menyangka sama sekali, ternyata engkau seberani ini, tidak seperti sikapmu yang selalu sopan kepada siapa saja. Tapi justru inilah yang kucari. Sikap pemberani seperti ini.
Wati mendorongku pelan sehingga badanku menjauh dari badannya yang telanjang dada. “Mas, berdiri dulu, ya,” pintanya sambil dia sendiri bergerak bangkit duduk.
Dalam keadaan sama-sama tidak memakai baju itu, aku sendiri agak kikuk, karena itulah saat pertama kalinya aku melihat gadis bertelanjang dada, berada tepat di depanku, dengan aku sendiri tidak memakai baju. Dan bahkan, kini gadis yang ada di depanku ini memegang bagian pinggang celanaku, dan dengan satu gerakan yang tidak sempat kusadari, dia sudah memelorotkan celana panjangku sampai ke lantai. Benar-benar menyentuh lantai.
“Angkat dong, kakinya, Mas,” katanya.
Aku mengangkat kaki kananku, dan Wati segera menarik celana panjang itu hingga lepas dari kakiku. Setelah itu, kuangkat juga kaki kiriku, dan Wati pun menarik ke bawah celana itu hingga benar-benar lepas dari badanku.
“Aduh, bagaimana ini?… Kok aku yang ditelanjangi Wati? Bukannya sebaliknya?…” batinku lagi, sambil merasakan berbagai macam perasaan tidak karuan. Ciuman-ciumanku kepada Wati, remasan dan pilinan tanganku pada buah dada dan puting susunya, serta hisapan mulutku pada puting susunya telah membuatku sangat terangsang, dan aku sadar sekali apa yang sudah terjadi di bawah sana, di selangkanganku.
Wati sigap merenggut karet celana dalamku, dan dengan sekali gerakan ke bawah, diturunkannya celana dalamku sampai ke batas lututku. Dan… tersembullah batang kemaluanku yang sudah berdiri tegak, ereksi.
Aku tidak tahu, Wati bakal mengatakan apa, setelah melihat kemaluanku. Aku hanya kuatir, dia akan mundur setelah melihat aku tidak disunat…
“Masss…..!”
Jeritnya pelan dengan mata terbelalak. Wati tampak kaget, tapi wajahnya menunjukkan ekspresi senang dan bergairah. Dia tersenyum, dan kedua tangannya segera meraih batang kemaluanku yang dua puluh sentimeter dengan tambahan jumbai kulit empat sentimeter itu.
Tangan kirinya membelai kantung pelirku. Meremasnya perlahan. Mengelus-elusnya dan sesekali memain-mainkan bulu-bulu hitam keriting yang rimbun menutupi bagian atas kemaluanku.
Tangan kanannya menyentuh batang kemaluanku, merabanya perlahan. Pertama-tama langsung disentuhnya pangkal kemaluanku, lalu bergerak menjalar ke ujung kemaluanku yang kulupnya menjuntai panjang.
Di bagian ujung itu, tangan Wati berhenti agak lama. Dia meraba kulupku. Sepertinya ingin mengetahui ada apa di balik kulit itu. Ia mengusap-usap kulupku dengan telunjuk dan ibu jarinya. Lalu mendadak, tangan kirinya memegang batang kemaluanku, dan jari-jari tangan kanannya menjalar ke ujung, mencari celah di ujung kulupku.
Ketemu! Dia mendapatkan celah itu, dan seketika dimasukkannya telunjuknya ke dalam kulit yang menutup seluruh kepala penisku. Badanku bergetar. Geli bercampur enak. Sepertinya ingin melepaskan diri dari genggaman Wati, tapi sekaligus merasa tidak ingin melepaskan genggamannya.
Dan, masuklah telunjuk yang lentik dan panjang itu ke balik kulit kulup yang menutup seluruh kepala kemaluanku. Wati mendorong jarinya masuk ke dalam sampai menyentuh kepala kemaluanku, dan ia tidak berhenti sampai di situ. Terus didesakkannya telunjuknya sampai menyentuh leher kepala kemaluanku yang merupakan bagian pangkal kulup. Wati telah memasukkan jarinya sampai ke bagian yang terdalam dari kulupku, dan kulihat seluruh jari telunjuknya tenggelam, lenyap tertelan kulupku ini.
“Mas… Aku suka ini, Mas.”
Seperti disiram air dingin, ada perasaan lega menyentuhku. Wati tidak protes karena aku tidak disunat!
Sekarang jari telunjuk gadisku ini dikeluar-masukkannya di dalam kulupku ini. Tiap kali menyentuh dasar kepala kemaluanku, ia memutar telunjuknya mengelilingi kepala kemaluanku yang semakin keras. “Ah,… kamu memang hebat, sayang,” kali ini aku bersuara, tidak lagi cuma membatin. “Enak. Ahh… enak sekali…”
Tiba-tiba tangan kiri Wati yang sedari tadi menggenggam batang kemaluanku, menarik kulit kemaluanku itu ke belakang, jauh-jauh, sehingga kepala kemaluanku tersembul keluar. Cairan pelicin dari dalam kemaluanku sendiri tampak membanjiri kepala kemaluanku yang merah kecoklatan.
Lalu digerakkannya tangan kirinya maju ke depan, sehingga kulupku menutup kepala kemaluanku lagi. Kemudian ke belakang lagi sampai ke pangkal kemaluanku, hingga kepala kemaluanku keluar lagi. Maju lagi, menutup kepala kemaluan ini, mundur lagi, membuka, maju lagi, menutup, begitu terus, berulang-ulang. Kepala kemaluanku keluar masuk di balik kulit kulupku, sangat mengasyikkan melihatnya. Terlebih lagi, merasakannya… Sungguh nikmat…! Syuur sekali!!!…
Luar biasa, baru kali inilah kemaluanku digosok oleh tangan lembut seorang perempuan. Dan perempun itu adalah perempuan yang kusayangi.
Nikmat sekali. Segala perasaan terangsang terkumpul di selangkanganku.
Satu lagi kejutan diberikan Wati kepadaku. Dengan cepat mulutnya menyambar kepala kemaluanku pada saat kepala itu tersembul keluar dari balik kulupku. Seketika kepala kemaluanku lenyap ditelan mulut Wati. Wati mengulum-ngulum dengan sangat lembut dan penuh perasaan. Lidahnya menyentuh permukaan kepala penisku yang sangat peka… Enak sekali…
Aku bergidik saking keenakan. Ada rasa syuur yang luar biasa. Kucondongkan badanku ke arah wajahnya. Kubelai rambutnya. Wati merem-melek. Aku sempat heran. Kok, justru dia yang sepertinya keenakan. Tapi rupanya, Wati juga menikmati kemaluanku di dalam mulutnya. Lidahnya berputar, melingkar-lingkar, menjilati seluruh permukaan kepala kemaluanku. Sesekali disedotnya kuat-kuat batang kemaluanku, sehingga kemaluanku terasa menempel kuat ke langit-langit mulutnya.
Sepertinya Wati tahu, ia lebih banyak menjilati bagian bawah kepala kemaluanku, yaitu bagian frenulumnya. Itu bagian paling enak digosok-gosok. Terus… terusss… terussss…. Wati semakin cepat memelintir-melintir lidahnya, memberikan kenikmatan luar biasa ke seluruh permukaan kulit kemaluanku.
Huhh… huuhhh… hhhhh…hhhhh, desah Wati mengulum batang kemaluanku yang baru kali ini disentuh perempuan. Dan, huhh… huhhh… huhhh…. terus… terus… dia memompa batang dan kepala kemaluanku di dalam mulutnya, sambil tangan kirinya menggosok seluruh batang kemaluanku, maju mundur… Sementara tangan kanannya memainkan biji-biji pelir di dalam kantung kemaluanku.
Ahh, Watiku, kau memang luar biasa. Aku makin sayang sama kamu. Aku merasa ledakan itu akan segera terjadi, dan… Cret… Creettt… Creeetttt…. Ahhhh….
Dengan lenguhan panjang sambil bergidik, aku menumpahkan puncak syahwatku di dalam mulut Wati. Air maniku tersembur kuat di dalam mulutnya. Berkali-kali. Semburan pertama mengejutkan Wati, tapi ia tidak lalu menarik keluar batang kemaluanku dari dalam mulutnya. Ia justru menggigit kuat-kuat batang kemaluanku yang sedang menyemburkan air mani itu dengan bibirnya. Jepitan bibir Wati pada batang kemaluanku seakan menambah rasa nikmat, rasa enak dan syuur… yang tak terkatakan itu. Crettt… crettt… creettttt…. Aahhhh….
Sampai semprotan yang terakhir, Wati masih belum melepaskan kepala kemaluanku. Sepertinya ia menikmati setiap semburan air mani yang hangat di dalam rongga mulutnya. Kulihat ia menahan untuk menelan. Setelah kejutan-kejutan dan hentakan-hentakan kecil dari batang kemaluanku berhenti, perlahan Wati mengeluarkan batang kemaluanku dari dalam mulutnya, lalu menjilati sisa-sisa air mani di seputar kepala kemaluanku.
Setelah itu, ia sedikit membuka mulutnya ke arahku, menunjukkan rongga mulutnya yang penuh air maniku. Ia kelihatan sangat menikmati air mani itu. Ia mengulum sebentar, menikmati rasa air mani yang agak asin dan khas sekali baunya. Ia membuka lagi mulutnya, menjilati kepala kemaluanku lagi, lalu menunjukkan mulutnya yang masih penuh air mani yang putih kental itu, kemudian menelannya. Wati menelan seluruh air maniku! Ini terbukti ketika ia membuka lagi mulutnya, rongga mulutnya sudah bersih. Yang tampak hanyalah lidahnya yang merah menggairahkan dan deretan gigi yang putih bersih.
Ah, Wati… Aku sayang kamu, Wati.
=======