1101 Views |  Like

Mario

Age when it happend: 20
Where it happened: Denpasar
Langauge: indonesian
Sex: Male
Rating: 5
Category: Straight

Kissing Lover

Persahabatanku dengan Thomas sudah berjalan selama kurang lebih satu tahun. Ia adalah sosok mahasiswa teladan yang disegani banyak dosen, begitu pula aku. Kami selalu berangkat bersama-sama ke kampus karena kami mengambil fakultas yang sama. Mungkin cuma Johny—salah seorang mahasiswa gendut semester sembilan—yang mengolok-olok kami sebagai pasangan gay. Tapi hubungan kami bukanlah yang seperti itu. Setidaknya, begitulah kira-kira sebelum malam valentine jomblo pertamaku.

Bulan februari tahun ini datang lebih cepat dari biasanya. Malam valentine yang seharusnya romantis bagi sepasang kekasih kini kunikmati dengan minum tequila di cafe bersama Thomas. Ngomong-ngomong, aku sudah putus dengan pacarku tepat di hari Natal sebelumnya.

Rasanya hari-hari begitu cepat berlalu, tapi ada sahabat karib yang selalu menemani. Thomas, orang yang setia mendengarkan segala keluh kesahku. Entah kenapa aku begitu terbuka dengannya, sampai masalah hubungan sex dengan pacarku pun kuceritakan padanya, dan dia tak segan-segan memberikan komentar dan saran.

Aku tak pernah membayangkan kalau Thomas sebenarnya adalah seorang gay. Secara fisik, Ia seperti pria kebanyakan yang pernah kutemui. Postur tinggi, berbadan bagus, rambut gondrong dengan wajah tirus dan berjenggot pula. Sebetulnya Thomas tampan, hanya saja ia bukan tipe cowok yang suka berdandan. Seandainya ia berpakaian lebih keren sedikit, pasti cewek-cewek berebut untuk mendapatkan hatinya. Tapi Thomas tak pernah punya pacar, ia sendiri yang bilang padaku.

Alasan kenapa ia tak tertarik dengan wanita baru aku ketahui setelah malam itu. Kami berdua membawa sisa botol tequila ke pantai. Di sana kami punya satu tempat favorit. Ada sepasang pohon kelapa yang tumbuh berdampingan di pinggir pantai, nah disanalah kami biasanya duduk untuk berbincang-bincang atau menikmati angin yang berhembus dari laut.

Kami merenung sesaat di bawah sinar rembulan. Thomas duduk disampingku sambil meneguk minumannya, aku sendiri diam dengan mata tertuju ke ujung laut yang gelap. Kurasa saat itu kami berdua mabuk. Tapi kami masih cukup sadar untuk melanjutkan perbincangan dan mengenangnya kembali hari ini.

“Rio,” gumam Thomas, kulirik dia, sedang tersenyum. “Kau tahu, malam tidak pernah letih. Ia selalu menemani setiap orang yang mengharapkannya.”

“Apa kau ingin malam memejamkan matanya dalam sedetik agar kau tahu kenapa itu bisa terjadi?” kataku.

“Ehm,” gumamnya setelah sekian saat lewat, ia tidak menjawab pertanyaanku. “Rio, apa kau tahu bahwa cinta itu tak pernah ada. Cinta tidak lain adalah nafsu.” Kini ia memejamkan matanya.

“Aku tidak tahu,” jawabku.

“Tapi …” gumamnya dengan hati-hati, sekarang kedua matanya menusuk tajam ke wajahku. “Kalau cinta dan nafsu tidaklah berbeda, bolehkah aku mengungkapkan sesuatu padamu.”

“ya.”

Thomas memandangku lekat-lekat. Kutatap wajah yang sudah satu tahun ini bersamaku. Wajah yang ragu-ragu, membuatku penasaran.

Ia meletakkan tangan kirinya dengan hati-hati ke atas pipiku, tangannya hangat. Kulihat wajahnya semakin condong dan mendekat ke padaku. Ya, aku bisa merasakan deruan nafasnya yang tak teratur, aku bisa mendengar detak jantungnya. Ia terlalu dekat ke wajahku. Aku memejamkan mata, oh tidak, Thomas, jangan lakukan ini padaku.

Kubuka mata, dan kulepas dekapannya. Aku benar-benar tak percaya. Aku tak bisa melakukan itu.

Thomas masih menatapku. Kulihat ekspresi wajahnya. Ada penyesalan, harapan dan cinta yang membara di sana. Aku tidak tahan lagi, maafkan aku Thomas.

Aku pun berhambur pergi, meninggalkannya sendirian di pantai yang sepi itu.


Selama seminggu kemudian aku tak pernah bertemu dengannya. Kampus memang sedang libur sehingga aku kembali ke kampung untuk beberapa hari. Namun di manapun aku berada, wajah Thomas selalu membayang-bayangi aku. Wajah itu , oh wajah itu selalu mengganggu hatiku. Apa yang harus kulakukan.

Malam terakhir liburan kuhabiskan dengan membaca buku serial anak-anak karya R.L. Stine yang berjudul The Nightmare Room: Jangan Lupakan Aku. Aku mengambilnya dari kamar adikku.

Katanya buku itu sangat bagus. Aku memang penggemar berat cerita horror, tapi khusus malam itu, R.L. Stine tak sanggup membuatku merinding, aku malah melihat wajah Thomas di sampul bukunya.

Hampir setiap malam beberapa hari belakangan ini aku kesulitan tidur, mungkin aku sedang menderita insomnia. Kau pasti tahu kenapa. Dari sisi psikologis, tentu saja. Siapa lagi penyebabnya?

Bagaimanapun, aku tertidur. Dan seperti yang sudah kau kira, aku bermimpi.
Mimpi itu agak kabur, seperti bayangan yang berhamburan dalam kabut. Pertama-tama aku melihatnya, seorang pria berdiri di antara sepasang pohon kelapa. Ia memiliki rambut panjang yang diikat, namun beberapa helai rambutnya tampak berterbangan dibelai angin. Aku tahu benar siapa dia.

Aku berjalan mendekat, seperti ada sesuatu yang menuntunku. Ya, aku ingin segera sampai di sana. Aku sudah tak sabar, semakin dekat, kuraih tangannya, kutarik dan kudekap tubuhnya dalam-dalam. Aku takkan melepasnya. Aku ingin memilikinya.

Jam locker di atas meja berdering nyaring, membuat bayangan indah itu lenyap dari kepalaku. Kuambil onggokan mesin menjengkelkan itu dan mematikan teriakannya. Coba kemarin aku tidak menyetelnya, apa yang akan terjadi dalam mimpi itu? Yeah, kau pasti tahu apa yang kubayangkan.

Aku menguap panjang, rasanya terlalu pagi untuk bangun dan mandi. Namun mendadak aku membuka mata dengan jantung berdebar-debar. Ada apa gerangan? Kenapa ciuman di malam valentine itu sangat mengganggu pikiranku.

Ketika aku mencoba bangkit, buku The Nightmare Room jatuh ke lantai lantaran kusenggol. Aku memungutnya kembali dan memandangi sampulnya.

Oh Thomas … aku menyerah, sekarang aku sangat merindukanmu.


Hari pertama kuliah setelah liburan kuhabiskan dengan berkeliling kampus. Dosen yang biasanya mengajar kami berhalangan hadir sehingga para mahasiswa sefakultas berkeluyuran atau membaca di perpustakaan. Aku sendiri kebingungan. Aku tidak tahu di mana Thomas berada. Kata beberapa teman, mereka melihatnya di lapangan tenis, tapi aku tak menemukannya di sana.

Oh … di mana dirimu?

Dalam keadaan lapar, kalut dan putus asa aku melangkah gontai menuju kantin. Aku sangat berharap menemukan sahabatku di sana, sedang memakan semangkuk bakso dengan lahap. Tapi alih-alih pria berambut gondrong, yang ketemui hanya Johny dan dua orang cewek bertubuh subur yang sedang memesan mangkuk baksonya yang keempat. Aku bergabung dengan mereka dengan memasang tampang muram.

“Hey Mario, tumben nih sendirian,” ledek Johny, mengaduk kuah baksonya setelah menuang lebih dari empat sendok saos tomat. “Biasanya kan, kau dan Thomas selalu lengket seperti dua bayi kembar siam.”

“Hari ini mungkin ia tak kuliah,” kataku murung, memesan bakso.

“Siapa bilang?” ujar Johny, sambil mencuri satu pentol bakso dari mangkuk temannya yang sedang tidak perhatian. Aku menoleh. “Baru tiga menit yang lalu aku melihatnya sedang masuk ke toilet. Mukanya keruh banget, seperti orang yang habis kehilangan dompet dengan uang jutaan rupiah di dalamnya. Atau mungkin … kalian putus ya?”

Aku langsung bangkit dan berhambur pergi, mengabaikan panggilan mas Toto yang sudah membuatkan pesananku.

Aku berlari sepanjang koridor menuju belakang kampus di mana toilet pria berada. Aku sudah tak sabar ingin segera menemuinya. Thomas, semoga kau masih di sana.

Kudobrak pintu toilet dan buru-buru masuk. Tempat itu sepi , tak ada seorang pun.

Aku kembali ke luar dengan perasaan bahwa mungkin Thomas masih belum jauh dari sana. Aku bertemu Dodi dan Arya–dua orang temanku–di depan ruang tata usaha. Dari mereka aku mendapat informasi bahwa Thomas sedang duduk sendirian di taman belakang kampus. Aku segera ke sana.

Ngos-ngosan, aku sampai di taman yang lengang. Matahari bersinar terik, keringatku bercucuran. Tak ada tanda-tanda seorang pria yang sedang merenung. Hanya desir angin yang memainkan rumput dan daun-daun dari pepehonan.

Saat itu aku betul-betul putus asa. Aku mengira Thomas mungkin tak mau menemuiku lagi. Ia pasti sakit hati karena aku menolaknya.

Tapi begitu aku menoleh ke arah pepohonan di dekat bangunan gudang., aku melihatnya. Seorang pria tampak duduk di bawah bayang-bayang pohon dan semak. Pria itu menunduk dalam dan tampak sedang menggambar sesuatu di tanah dengan ranting.

Aku berjalan mendekatinya, jantungku berdebar-debar kencang sekali, aku sampai sulit bernafas. Sampai detik itu, Thomas masih belum menyadari kedatanganku.

Aku melangkah semakin dekat padanya. Akhirnya ia mendongak dan terlihat kaget. Aku juga melihat ekspresi yang tak boleh tersirat di wajahnya, rasa bersalah.

“Rio,” gumamnya hati-hati, bangkit, “sejak kapan kau di situ?”
“Baru saja,” kataku, masih ngos-ngosan. Jantungku berdebar-debar semakin kuat dan nafasku tidak teratur.

Kami berdua bersandar di tembok, membisu dengan ketegangan yang berarti.

“Rio,” katanya hati-hati. “Soal malam itu, maaf ya. Aku merasa telah menghancurkan persahabatan kita. Tapi aku tidak bermaksud…”

Aku tak ingin mendengarnya mengucapkan kata-kata itu. Wajahnya seketika kuraih dan kucium bibirnya dengan lembut. Selama lima detik ia tak merespon, namun perlahan ia mengerti dan membalas seranganku. Tangannya pun mulai bergelirya di leher, dada, pinggang dan perutku. Bahkan kurasakan remasan yang indah di sekitar burungku. Oh Thomas sebesar inikah cintamu padaku?

Masih bergumul mesra kami menyelinap ke dalam gudang dan menutup pintu. Di dalam sana memang agak gelap dan berdebu, namun hasrat kami sangat besar, tak ada satu pun hal yang dapat memisahkan kami berdua sekarang.

“Sudah lama aku ingin melakukan ini, sayang,” bisiknya di telingaku, kami berpelukan dengan sangat erat, benar-benar menempel.

Thomas sangat ganas, ciumannya membuatku terkapar tak berdaya. Ia begitu bernafsu, ia tak membiarkan aku berhenti mendesah. Ia begitu menakjubkan, sisi yang tak pernah aku ketahui selama satu tahun ini, sisi yang dirahasiakannya.

“Oh Thomas … AAAH …” aku menggeliat. Ia mengangkat tubuhku ke atas meja. Ia benar-benar kuat.

Tahu-tahu Thomas sudah melucuti kemejaku. Mulut dan lidahnya pun berkeliaran di sekujur badanku. Kubiarkan ia bekerja, kubiarkan ia menghisap dan menjilati kedua puting dadaku, kubiarkan ia menikmatinya, memilikinya.

Kubantu ia melepas kaos yang dipakainya supaya aku bisa menikmati keindahan tubuhnya, agar aku bisa membelainya. Sementara itu, tangan nakal Thomas meremas-remas adik kecilku yang mulai menegang.

Lidah dan mulutnya masih bekerja. Aku mendesah geli saat ia menjilati bagian perut dan pinggangku.

Mulutnya menyusur semakin ke bawah—aku tahu apa yang ia cari. Kemudian ia menciumi kontolku yang sudah menggembung dari balik celana. Tak sabar, ia segera membuka resleting celana denimku. Oh burungku yang memberontak lepas sudah dari sarangnya. Tapi Thomas tak membiarkannya menganggur barang sedetik, ia buru-buru menelannya, membuat rasa geli yang nikmat menjalar di sekujur tubuhku. Aku mendesah keras.

Ia mengisapnya habis-habisan, betul-betul rakus. Aku belum pernah merasakan kenikmatan seperti itu. Rasanya jauh lebih menyenangkan dibanding semua teknik oral dari beberapa pacarku sebelumnya. Thomas adalah manusia penghisap penis yang sangat ahli.

Semakin lama ia menggenjotnya kenikmatan yang kurasakan semakin hebat, aku sampai mengejang-ngejang di atas meja. Kusangga tubuhku dengan kedua tangan. Thomas masih memanjakakku dengan permainannya, aku mengerang-ngerang.

Sadar akan gerak-gerikku Thomas menghentikan isapannya. kemudian ia mengocoknya dengan penuh perasaan.

Kenikmatan itu pun menuju puncaknya, aku mendesah keras sekali, dan kurasakan titik keindahan dalam tubuhku saat spermaku menyembur keluar. Thomas mendekap tubuhku, kami berciuman lagi.

Kami tak melakukan hal yang lebih jauh lagi setelah itu. aku hanya membalas kenikmatan yang diberikan Thomas. Aku ingin ia bahagia, sebahagia diriku saat ini.

Setelah puas mencurahkan hasrat di dalam gudang kami keluar menuju halaman. Memastikan tidak ada orang lain di sekitar sana, kami kembali berciuman mesra di bawah bayang-bayang pohon.Hari mendadak menjadi sangat menyenangkan siang itu.

Mario

Processing your request, Please wait....
  • 0 - very bad experience 10 - very great experience